sirah bulan zulhijjah - An Overview
sirah bulan zulhijjah - An Overview
Blog Article
Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya untuk berdamai dan bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr. Ya'mur memutuskan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota Mekkah daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang ditumpahkan oleh Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri sedangkan setiap nyawa yang melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr harus dibayar dengan tebusan, serta (diputuskan juga) bahwa Qushai harus dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah. Maka dari sejak itu, Ya'mur dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah). Kekuasaan Qushai atas penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan abad V Masehi yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai sekaligus suku Quraisy memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah serta pelaksana ritual keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang Arab dari seluruh Jazirah. Di antara langkah yang diambil oleh Qushai adalah memindahkan kaumnya dari rumahrumah mereka ke Mekkah dan memberikan mereka lahan yang dibagi menjadi empat bidang, lantas menempatkan setiap suku dari Quraisy ke lahan yang telah ditentukan bagi mereka serta menetapkan jabatan sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya yaitu suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat sudah
Demikian pula, agar mereka mawas diri dalam melakukan hal itu dan berdasarkan ilmu semenjak awal memulai dakwah mereka tersebut. Disamping itu, surat tersebut (asy-Syu'ara') juga berbicara mengenai nasib yang akan dialami oleh pendusta-pendusta para Rasul, diantaranya sebagaimana yang dialami oleh kaum nabi Nuh, kaum 'Ad dan Tsamud, kaum Nabi Ibrahim, kaum Nabi Luth serta Ashhabul Aykah (selain yang berkaitan dengan perihal Fir'aun dan kaumnya). Hal itu semua dimaksudkan agar mereka yang melakukan pendustaan mengetahui bahwa mereka akan mengalami nasib yang sama seperti nasib kaum-kaum tersebut dan mendapatkan pembalasan dari Allah bila melakukan hal yang sama. Demikian pula, agar kaum Mukminin tahu bahwa kesudahan yang baik dari itu semua akan berpihak kepada mereka bukan kepada para pendusta tersebut. Berdakwah di kalangan Kaum Kerabat Setelah menerima perintah dalam ayat tersebut, Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
Sebagai penutup, berikut disajikan jadual tahun terjadinya setiap peristiwa penting dalam periode Mekkah berdasarkan penanggalan Masehi: Tahun 610 M
beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam mengajak mereka kepada tauhid, beriman kepada risalah yang dibawanya dan Hari Akhir. Imam Bukhari telah meriwayatkan satu sisi dari kisah ini, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "tatkala turun ayat firmanNya: 'dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat' [Q.S. asy-Syu'ara' : 214] Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil-manggil : 'wahai Bani Fihr! Wahai Bani 'Adiy! Seruan ini diarahkan kepada suku-suku Quraisy. Kemudian tak berapa lama, merekapun berkumpul. Karena maha pentingnya panggilan itu, seseorang yang tidak bisa keluar memenuhinya, mengirimkan utusan untuk melihat apa gerangan yang terjadi?. Maka, tak terkecuali Abu Lahab dan kaum Quraisypun berkumpul juga. Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berbicara: 'bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan kepada kalian bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?. Mereka menjawab: 'ya! Kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran'. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: 'Sesungguhnya aku adalah sebagai pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih'. Abu Lahab menanggapi: 'celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?. Maka ketika itu turunlah ayat firmanNya: "binasalah kedua tangan Abu Lahab…" [Q.
Sidang Majlis membahas upaya menghalangi Jemaah Haji agar tidak mendengarkan Dakwah Muhammad Sepanjang hari-hari tersebut, ada hal lain yang membuat kaum Quraisy gundah gulana; yaitu bahwa belum beberapa hari atau bulan saja dakwah jahriyyah tersebut berlangsung hingga (tak terasa) mendekati musim haji. Dalam hal ini, kaum Quraisy mengetahui bahwa delegasi Arab akan datang ke negeri mereka. Oleh karena itu, mereka melihat perlunya merangkai satu pernyataan yang nantinya (secara sepakat) mereka sampaikan kepada delegasi tersebut perihal Muhammad agar dakwah yang disiarkannya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jiwa-jiwa mereka (delegasi Arab tersebut). Maka berkumpullah mereka di rumah al-Walid bin al-Mughirah untuk membicarakan satu pernyataan yang tepat dan disepakati bersama tersebut. Lalu al-Walid berkata:" Bersepakatlah mengenai perihalnya (Muhammad) dalam satu pendapat dan janganlah berselisih sehingga membuat sebagian kalian mendustakan pendapat sebagian yang lain dan sebagian lagi menolak pendapat sebagian yang lain". Mereka berkata kepadanya: "Katakan kepada kami pendapatmu yang akan kami jadikan acuan!". Lalu dia berkata: "justru kalian yang harus mengemukakan pendapat kalian biar aku dengar dulu". Mereka berkata: "(kita katakan) dia (Muhammad) adalah seorang dukun".
Sesekali al-Qur’an turun dengan berita-berita gembira ini secara lantang dan terkadang berupa kinayah (sindiran). Maka, di dalam rentang waktu yang amat kritis seperti ini dimana bumi dirasakan sempit oleh kaum Muslimin, mencekik mereka bahkan seakan ingin mengakhiri kehidupan mereka; turunlah ayat-ayat tersebut sebagaimana yang dulu terjadi diantara para Nabi dan kaum mereka berupa pendustaan dan pengingkaran. Ayatayat tersebut berisi hal yang menyinggung kondisi-kondisi yang persis sama dengan kondisi-kondisi kaum Muslimin di Mekkah dan orang-orang kafir disana. Ayat-ayat tersebut kemudian menyinggung peralihan kondisi berupa kebinasaan kaum kafir dan orang-orang yang zhalim dan kesuksesan hamba-hamba Allah di dalam mewarisi kekuasaan di muka bumi dan seluruh negeri. Di dalam kisah-kisah ini terdapat isyarat yang jelas akan kegagalan penduduk Mekkah nantinya dan kesuksesan kaum Muslimin dan dakwah islamiyah yang mereka bawa. Di dalam tenggang waktu tersebut, turunlah beberapa ayat yang secara terang-terangan memberitakan kabar gembira, berupa kemenangan kaum Mukminin sebagaimana di dalam beberapa firman-Nya berikut: one. Firman-Nya (artinya): “Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi
Termasuk wahyu pertama yang turun adalah perintah mendirikan shalat. Ibnu Hajar berkata: "sebelum terjadinya Isra', beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam secara qath'i pernah melakukan shalat, demikian pula dengan para shahabat akan tetapi yang diperselisihkan apakah ada shalat lain yang telah diwajibkan sebelum (diwajibkannya) shalat lima waktu ataukah tidak?. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang telah diwajibkan itu adalah shalat sebelum terbit dan terbenamnya matahari". Demikian penuturan Ibnu Hajar. Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalur Ibnu Lahi'ah secara maushul ( disambungkan setelah sanad-sanadnya mu'allaq [terputus di bagian tertentu]) dari Zaid bin Haritsah bahwasanya pada awal datangnya wahyu, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam didatangi oleh malaikat Jibril; dia mengajarkan beliau tata cara berwudhu. Maka tatkala selesai melakukannya, beliau mengambil seciduk air lantas memercikkannya ke faraj beliau. Ibnu Majah juga telah meriwayatkan hadits yang semakna dengan itu, demikian pula riwayat semisalnya dari al-Bara' bin 'Azib dan Ibnu 'Abbas serta hadits Ibnu 'Abbas sendiri. Hal tersebut merupakan kewajiban pertama. Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa bila waktu shalat telah masuk, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan para shahabat pergi ke perbukitan dan menjalankan shalat disana secara sembunyi-sembunyi jauh dari kaum mereka.
bertanya diantara mereka: “apa sebenarnya sebab-sebab dan faktor-faktor yang telah membawa kaum Muslimin mencapai puncak dan batas tak tertandingi dalam ketegarannya?”, “bagaimana mungkin mereka bisa bersabar menghadapi penindasan demi penindasan yang membuat bulu roma merinding dan hati gemetar begitu mendengarnya?”. Melihat fenomena yang menggoncangkan jiwa ini, kami menganggap perlunya menyinggung sebagian dari faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut secara ringkas dan singkat: 1. Keimanan kepada Allah Sebab dan faktor paling utama adalah keimanan kepada Allah Ta’ala semata dan ma’rifah kepada-Nya dengan sebenar-benar ma’rifah. Keimanan yang tegas bila telah menyelinap ke sanubari dapat menimbang gunung dan tidak akan goyang. Orang yang memiliki keimanan dan keyakinan seperti ini akan memandang kesulitan duniawi sebesar, sebanyak dan serumit apapun seperti lumut-lumut yang diapungkan oleh air bah lantas menghancurkan bendungan kuat dan benteng perkasa. Orang yang kondisinya seperti ini, tidak mempedulikan rintangan apapun lagi karena telah mengenyam manisnya iman, segarnya keta’atan serta cerianya keyakinan. Allah berfirman: “Adapun buih itu akan hilang sebagia sesuatu yang tak ada harganya.
bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan niatnya, dia kemudian memberitahu mereka perihal nazar tersebut sehingga mereka pun menaatinya. Dia menulis nama-nama mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah nama 'Abdullah. 'Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang dan mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk segera disembelih, namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari fihak ibu) dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi sikap tersebut, 'Abdul Muththalib berkata: "lantas, apa yang harus kuperbuat dengan nazarku?". Mereka menyarankannya agar dia menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian datang kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini memerintahkannya untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor onta; jika yang keluar nama Abdullah maka dia ('Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh ekor onta lagi, begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha. Dan jika yang keluar atas nama onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban. 'Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan undian (sebagaimana yang diperintahkan dukun wanita tersebut) antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor onta, lalu keluarlah yang nama 'Abdullah; bila yang terjadi seperti ini maka dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor onta begitu seterusnya, setiap diundi maka yang keluar adalah nama 'Abdullah dan diapun terus menambahnya dengan sepuluh ekor onta hingga onta tersebut sudah berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut jatuh kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan manusia maupun binatang buas.
*Terhadapnya Allah Ta'ala menurunkan ayat three, surat al-Kautsar –pink. Sebagaimana dalam bahasan terdahulu, bahwa Abu Lahab selalu menguntit di belakang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Dalam hal ini, Thariq bin 'Abdullah al-Muhariby meriwayatkan suatu berita yang intinya bahwa yang dilakukannya tidak sekedar mendustakan Rasulullah, akan tetapi lebih dari itu, dia juga memukul beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan batu hingga kedua tumit beliau berdarah. Isteri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah saudara perempuan Abu Sufyan, tidak kalah frekuensi permusuhannya terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dibanding sang suami. Dia pernah membawa dedurian dan menebarkannya di jalan yang dilalui oleh Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bahkan juga, di depan pintu rumah beliau pada malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang judes. Lisannya selalu dijulurkan untuk mencaci beliau, here mengarang berita dusta dan berbagai isu, menyulutkan api fitnah serta mengobarkan perang membabibuta terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh karena itulah, al-Qur'an menyifatinya dengan Hammaalatal Hathab (wanita pembawa kayu bakar). Ketika dia mendengar ayat al-Qur'an yang turun mengenainya dan suaminya, dia langsung mendatangi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam yang sedang duduk-duduk bersama Abu Bakar ash-Shiddiq.
FAKTOR KESABARAN DAN KETEGARAN KAUM MUSLIMIN Pada bagian yang lalu (thirteen-a) telah disebutkan empat faktor dan sebab dari ketabahan dan ketegaran kaum Muslimin. Pada bagian kali ini kita akan melanjutkan faktor dan sebab selanjutnya: five. al-Qur’an Pada rentang waktu yang amat kritis dan sulit ini, turunlah surat-surat dan ayat-ayat Allah guna memberikan hujjah dan bukti atas kebenaran risalah Islam dan prinsip-prinsipnya dimana dakwah berada pada porosnya. Al-Qur’an tampil dengan gaya bahasa yang valid dan indah, mengarahkan kaum Muslimin kepada pondasi-pondasi yang kelak atas qadar Allah terbentuk komunitas manusia yang paling agung dan mempesona di muka bumi ini, yaitu masyarakat Islam. Surat-surat dan ayat-ayat tersebut juga amat membangkitkan sensitifitas dan Moi kaum Muslimin untuk bersabar dan pantang menyerah, menguraikan sikap tersebut dengan bahasa permisalan dan menjelaskan kepada mereka apa hikmah di balik itu. Allah berfirman (artinya) : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?
menulis karyanya yang populer al-'awashim min al-qawashim. Ia menegaskan (dalam karyanya tersebut) bahwa memperbolehkan adanya keraguan sedikitpun mengenai kredibilitas seorang sahabat merupakan dosa besar. Untuk menghindari hal ini, ia menganjurkan agar selalu mengagungkan sahabat semuanya. Mereka mutlak dihormati dan diagungkan. Mereka tidak boleh dikritik. Mereka jauh lebih tinggi dan lebih terhormat untuk dikritik. Menurutnya, melakukan hal tersebut berarti melemahkan posisi entrance perjuangan Islam. Mereka (sahabat) adalah perisai Islam dan lambang keabadiannya. Dewasa ini, buku tersebut dipublikasikan oleh Muhibb Al-Din Al-Khatib, seorang penganut salafiyah yang ekstrim. Ia menulis catatan dan komentar yang memberikan ancaman bahwa mempertanyakan satu prilaku sahabat adalah dosa besar. Semua ini adalah sikap-sikap mental yang dapat dimengerti (jika melihat kondisinya). Dan kami menghargai tujuan dan keikhlasan mereka serta menghormati pendekatannya, walaupun kami tidak harus mengikutinya. Kami berupaya menulis Sirah dengan menggunakan pendekatan lain dan dengan gaya baru untuk memperjelas dinamika dan vitalitas masa kehidupan Rasulullah yang mengagumkan. Kami berasumsi bahwa Sirah selalu aktual karena Rasulullah dalam hadis-hadisnya berbicara kepada segenap umat manusia di setiap masa, ruang dan waktu. Berikut ini kami akan memaparkan gambaran kesehatan Rasulullah Observed sebagaimana yang terkesan dalam buku al-syifa. Tapi (sebelum itu) kami ingin mengingatkan bahwa pemaparan ini tidak bertujuan mendiskusikan atau menyangkal apa yang terurai dalam kitab tersebut. Al-Qadli 'Iyadl dan para penulis yang sederajat, bagi kami adalah ulama terkemuka dan terhormat. Justru kami dapat lebih memperkuat argumentasinya karena motivasi mereka didorong oleh cinta yang mendalam terhadap Rasulullah, keagungan beliau dan keyakinan terhadap kebenaran Islam.
Demi Allah! sungguh kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana kalian bangun dari tidur. Sungguh kalian akan dihisab (diminta pertanggungjawabannya) terhadap apa yang kalian lakukan. Sesungguhnya yang ada hanya surga yang abadi atau neraka yang abadi". Kamudian Abu Thalib berkomentar: "alangkah senangnya kami membantumu, menerima nasehatmu, dan sangat membenarkan kata-katamu. Mereka, yang merupakan suku-suku dari pihak bapakmu telah berkumpul. Sesungguhnya aku hanyalah salah seorang dari mereka namun aku adalah orang yang paling cepat merespek apa yang engkau inginkan; oleh karena itu teruskan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Demi Allah! aku masih akan melindungi dan membelamu akan tetapi diriku tidak memberikan cukup keberanian kepadaku untuk berpisah dengan agama Abdul Muththalib ". Ketika itu, berkata Abu Lahab: "demi Allah! ini benar-benar merupakan aib besar. Ayo cegahlah dia sebelum dia berhasil menyeret orang lain selain kalian!. Abu Thalib menjawab: "demi Allah! sungguh selama kami masih hidup, kami akan membelanya". Di atas Bukit Shafa Setelah yakin tugasnya menyampaikan wahyu Rabbnya telah mendapatkan perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam suatu hari berdiri tegak diatas bukit Shafa sembari berteriak: " Ya shabaahah! (seruan untuk menarik perhatian orang agar berkumpul di waktu pagi)". Lalu berkumpullah suku-suku Quraisy. Kemudian
Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa rakyat ibarat posisi sebuah sawah yang selalu mendatangkan hasil buat dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri tenggelam dalam kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka, tak seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu, bahkan mereka diam tak bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam siksaan . Hukum kala itu benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak asasi hilang ternoda. Adapun kabilahkabilah yang berdampingan dengan kawasan ini, mengambil posisi ragu dan oleng oleh hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ; terkadang mereka terdaftar sebagai penduduk Iraq tapi terkadang juga terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilahkabilah dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masingmasing lebih memilih untuk berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari mereka berdesah : Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia tersesat Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan maka sampai pulalah aku Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang dapat menyokong kemerdekaan mereka,